Kamis, 12 Juni 2014

Pendidikan Karakter dan Anti-Korupsi

Pendidikan Karakter dan Anti-Korupsi
Alternatif

Korupsi merupakan kata yang tidak asing di telinga setiap lapisan masyarakat  Indonesia, yang sepertinya sudah melekat kedalam sistem, menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari dan sudah dianggap lazim serta tidak melanggar apa pun. Pengertian korupsi sendiri menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Korupsi dilakukan bukan hanya di lingkungan pejabat-pejabat pemerintah pusat tetapi sudah menjalar hingga ke lingkungan masyarakat di tingkat terkecil seperti RT, RW, kelurahan, kecamatan termasuk di lingkungan sekolah. Hal ini membuat korupsi tidak dapat dilawan secara serentak dan menyeluruh dengan hasil maksimal. Namun demikian korupsi masih mungkin untuk dicegah ataupun dipersempit ruang geraknya. 
 
Peran Generasi Muda dalam Memberantas Korupsi
Generasi muda merupakan aset bangsa yang menentukan mati atau hidup, maju atau mundur, sejahtera atau sengsaranya suatu bangsa. Belajar pada masa lalu, sejarah telah membuktikan bahwa perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran kaum muda. Seperti pada peristiwa sumpah pemuda, telah menggerakkan kesadaran generasi muda untuk bangkit dan berjuang melawan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Pada zaman sekarang dan masa yang akan datang musuh yang harus dilawan generasi muda adalah praktek korupsi, mengikis korupsi sedikit demi sedikit dengan harapan suatu saat nanti korupsi dapat diberantas dari negeri ini atau setidaknya dapat di tekan ke tingkat serendah mungkin. 
 
Peran Pendidikan Dini Anti Korupsi dalam Mencegah Tumbuhnya Bibit Koruptor
Pendidikan merupakan salah satu penuntun generasi muda ke jalan yang benar. Pendidikan sebagai awal pencetak pemikir besar, termasuk koruptor sebenarnya merupakan aspek awal yang dapat mengubah seseorang menjadi koruptor atau tidak. Pendidikan sebagai  salah satu tonggak kehidupan masyarakat demokrasi yang madani, sudah sepantasnya mempunyai andil dalam hal pencegahan korupsi.
Jika KPK dan beberapa instansi anti korupsi lainnya menangkap para koruptor, maka pendidikan anti korupsi juga penting guna mencegah tumbuhnya bibit koruptor. Pelajaran akhlak penting guna mencegah terjadinya kriminalitas. Begitu halnya pendidikan anti korupsi memiliki nilai penting untuk mencegah aksi korupsi. 
 
Bentuk Pendidikan Dini Anti Korupsi yang Diberikan
Pendidikan anti korupsi yang diberikan  sebaiknya disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Seperti pada tingkat pendidikan anak usia dini atau taman kanak-kanak, pendidikan anti korupsi yang efektif diberikan adalah membagikan buku-buku bergambar yang bertuliskan semangat-semangat anti korupsi. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, pendidikan anti korupsi yang diberikan dapat memanfaatkan teknologi komunikasi seperti smartphone atau jejaring sosial. Sebagai contoh, sekolah membuat sebuah grup di jejarinng sosial yang bertema anti korupsi yang kegiatan grup tersebut membagi- bagi kan karikatur, tulisan-tulisan lucu atau artikel yang membahas dampak buruk korupsi bagi diri sendiri dan orang lain. Pada tingkat perguruan tinggi yang menjadi sasaran pendidikan anti korupsi adalah mahasiswa. Workshop implementasi dan  pengembangan produk program anti korupsi merupakan pencegahan korupsi yang efektif di kalangan mahasiswa yang dianggap manusia dewasa yang sudah memiliki kemampuan untuk menilai, menganalisi dan membedakan mana yang baik dan buruk. Misalnya sebuah perguruan tinggi bekerja sama dengan KPK atau instansi anti korupsi mengadakan workshop yang bertema anti korupsi, didalam workshop tersebut mahasiswa diajak mengimajinasikan perubahan positif yang ingin diwujudkan dan konstribusi program terhadap perubahan tersebut. Selanjutnya mahasiswa mengenali kesulitan dan hambatan dalam mewujudkan perubahan positif yang akhirnya mahasiswa merumuskan rencana aksi yang berpijak pada kekuatan para aktor, mengatasi tantangan dan mewujudkan perubahan positif.  
 
Manfaat Pendidikan Dini Anti Korupsi
1.      Membentuk karakter disiplin jujur, jika generasi muda mempunyai karakter jujur bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan pejabat pemerintah yang jujur.
2.      Membentuk karakter disiplin dan taat pada hukum yang berlaku. Bila seseorang disiplin dan taat hukum maka perilaku korupsi bisa musnah dengan sendirinya.
3.      Membentuk karakter peduli terhadap sesama. Bila seseorang lebih mementingkan kepentingan bersama maka dia tidak akan egois tentang kepentingan pribadinya.
4.      Membentuk karakter yang sederhana dan bersyukur. Tekanan ekonomi yang tinggi dan gaya hidup yang terkesan mewah memunculkan suatu ide atau gagasan seseorang untuk mencari jalan pintas guna meraih kekayaan. Pencegahan korupsi sejak dini akan sangat diperlukan agar generasi muda tidak terpancing dalam gaya hidup yang boros.
Pada dasarnya pendidikan anti korupsi yang penting adalah pengembangan wawasan terhadap generasi muda, penanaman sikap dan karakter anti korupsi sehingga tumbuh kesadaran untuk tidak melakukan tindak korupsi di segala bidang.

Kamis, 01 Desember 2011

Dearth Of Existence?


Does it vex you when you know that you are not a normal person like others? Will an adage "be yourself'' still be there for encouraging yourself? Ah, your existence natch? Look. There are some queries when we answer we will be looked as a pessimist sort. Then what sort of manner, even gesture should we take on? Feigning that you are great to say yes while everything is the conversely of the circumstance? Or should we just say, " People just have truly no idea with my fucking circumstances."?


Keindahan nyata itu selalu tampak klisye. Suatu keadaan klasik di mana saya sering merasa kesepian di dalam keramaian dengan balutan kesenangan yang terlihat begitu nyata buat mereka. Paradoks! Ya, kekejian paradoks klisye itu selalu tampak lebih nyata. Siapa biang keladinya? Keadaan? Ataukah diri sendiri yang memandang sebuah panorama keadaan dengan realis yang berlebih sehingga menjadi pribadi yang pesimis dan bahkan menjadi naive dan tak ada harapan?

Prodigal just isn't about you waste your own wealth, lucre, time, something material or even immaterial. There are things out there which can't be determined as a material nor immaterial. I'm perplexed a lot how to prevent not to be a persona non grata, for people literally were born with the imperfection, though some people convey human being is a handmade of God which is flawless. There's a question from me to my logical sequence of thoughts. Who frankly judges ourselves till we are being a person who is paucity of existence? The problem of inner peace inevitably bulks large in today's concerns. This is sorta disaster! I have question whom I, myself, couldn't give the apt words for it. Ultimately, I'm immersed in illogical sequence of my own thoughts!  And it's getting worse since the table's turned by now. I ask myself afresh then.Will adage be an appropriate guide toward this complexity of life? And will it transform the exquisite philosophical words to a truly action?

There's a thing that I do fervently trust in besides God's miracles and existence, viz. there will literally be an imperfection though, but there will eternally be an azure sky as well. The case's supposed to be like that. Tranquility makes me look as a judicious sort, but it does not last. Yea, classically nothing lasts forever. I'm just one of those guys who are here to fix the bugs in the system. This whole life thing has quite a few bugs. You don't know many times we had that mass extinction problems. See? I'm dazzled by my own stand.

Saya butuh sebuah kenyamanan dan ketenangan yang nyata. Sebuah mindset yang seharusnya tak perlu lenyap untuk menyelamatkan inner dan outer space kehidupanku. Api itu selalu ada, namun air juga ada untuk melenyapkannya dan saya yakin hal itu. Saya ingin melakukan sebuah transformasi terhadap keberadaan klisye saya menjadi keadaan yang benar-benar nyata. Saya takut untuk memulai, karena saya berada dalam situasi "pancaroba". It shouldn't have mattered, though. It perceives like a procrastination circumstance which is made by my "prodigal" character.

I created it just trying to encourage my own self. People have no idea with my fucking circumstance which means I can't share the details. Yes, There I said!

Jumat, 21 Oktober 2011

April 23: World Book Day

April 23 is World Book Day.  Though not as well known as Shakespeare's birthday, alas, it is celebrated throughout the world in small ways.  On this day UNESCO seeks to promote reading, publishing and the protection of intellectual property!:
"23 April: a symbolic date for world literature for on this date and in the same year of 1616, Cervantes, Shakespeare and Inca Garcilaso de la Vega all died. It is also the date of birth or death of other prominent authors such as Maurice Druon, K.Laxness, Vladimir Nabokov, Josep Pla and Manuel Mejía Vallejo. It was a natural choice for UNESCO's General Conference to pay a world-wide tribute to books and authors on this date, encouraging everyone, and in particular young people, to discover the pleasure of reading and gain a renewed respect for the irreplaceable contributions of those who have furthered the social and cultural progress of humanity.
"The idea for this celebration originated in Catalonia where on 23 April, Saint George's Day, a rose is traditionally given as a gift for each book sold. The success of the World Book and Copyright Day will depend primarily on the support received from all parties concerned (authors, publishers, teachers, librarians, public and private institutions, humanitarian NGOs and the mass media), who have been mobilized in each country by UNESCO National Commissions, UNESCO Clubs, Centres and Associations, Associated Schools and Libraries, and by all those who feel motivated to work together in this world celebration of books and authors."
The following is a message from Koïchiro Matsuura, Director-General of UNESCO on the occasion of World Book Day:
Since 1996, the World Book and Copyright Day, celebrated on 23 April, has been a unique opportunity for us to reflect together on new issues relating to the book, viewed concomitantly as an industry, an art, and an essential tool in ensuring quality education for all.

The Day may be placed within the context of the United Nations Literacy Decade (2003-2012), the theme of which is "Literacy as Freedom", thus calling to mind the emancipatory effect of books. Such linkages are of the essence, especially if the book is to be a major medium for teaching men and women, as well as the most marginalized social groups, to read and write at a time when one adult in five worldwide can do neither.

The book, an instrument of knowledge and a means of sharing, must further each person's education, fulfilment and empowerment. It thus contributes to enjoyment of the universal right to education and to effective participation by each individual in social, political and cultural life.

Furthermore, having only recently celebrated the 60th anniversary of the Universal Declaration of Human Rights, we must stress that books are of no avail if we do not guarantee their free circulation. Concern over the "free flow of ideas by word and image", enshrined in UNESCO's Constitution, must be kept alive so that we can continue to promote universal access to books. As you can see, it is both our understanding of genuine quality education for all, and respect for the universality of human rights and fundamental freedom for all; that are at stake in issues relating to the book and its circulation.

On the occasion of the 14th World Book and Copyright Day, I therefore solemnly call on all countries and on UNESCO's partners and friends to join us in common reflection on the place of the book in our educational and cultural policies and on its contribution to the emergence of creative diversity that is deemed more useful than ever.
In addition to World Book Day celebrations and initiatives,  what better day to announce the availability of the World Digital Library.  "The World Digital Library makes available on the Internet, free of charge and in multilingual format, significant primary materials from countries and cultures around the world.  The principal objectives of the WDL are to:
  • Promote international and intercultural understanding;
  • Expand the volume and variety of cultural content on the Internet;
  • Provide resources for educators, scholars and general audiences;
  • Build capacity in partner institutions to narrow the digital divide within and between countries."
Content selection in the library is not yet great, though significant even now, it will grow with time and cooperation between participating libraries and institutions.  James Billington, US Librarian of Congress, has created this YouTube video to explain US involvement in the WDL.
As Shakespeare's original editors famously said in another context, ""Reade...therefore; and againe, and againe."  What better day than World Book Day to reaffirm our commitment to world peace through world literacy.

A Gilded Age View of Richard Grant White

The following is extracted from the pages of Shakespeariana, Vol. VI, Sept. 1889, pp. 406-409.  It is part of a series run by that venerable organ on the American Editors of Shakespeare, but is more like an undisguised fan letter to the first truly original American editor Richard Grant White.  As you read I think you will agree it is more than over the top, and, by the way, completely wrong about White's influence, but its charm is attractive.  For those unfamiliar with the Collier forgeries see my entries on Collier.  Unfortunately this panegyric discusses just about everything about White EXCEPT his edition of Shakespeare, but never mind that.  We will cover it in detail soon.  For now, enjoy

    When the world, hardly more than fifty years ago, began with Cooper and Irving to read "an American book,'' we can imagine the curl of the British lip at a suggestion that an American opinion might be worth taking. Indeed, the question as to when there began to be any American opinion at all upon matters Shakespearian, might well be made a very perplexing one. Criticism is hardly to be expected unless the thing criticised is at least potentially present. Where there is no sea there are not apt to be sailors. The question as to when American criticism of Shakespeare began, would naturally depend upon the answer to a prior question, as to when Shakespeare and Shakespearian history began to be printed and read in America.
Shakespeare himself was alive, and at the very summit of production, when Captain John Smith settled in Virginia. But the Immigrant seems not to have brought a chance Quarto among his personal baggage, and the fad for collecting antiques, which a few years ago turned the old colonies into markets for city dealers, while ransacking the venerable houses and yielding richly in claw-footed furniture and blue china, seems never to have turned up to the light one of these priceless pamphlets or a broadside of the date. The first settlors of these shores brought no books except the Bible and devotional works. There were plenty of copies of Fox's Martyrs, and Baxter's Saints' Rest, and Hervey's Meditations among the Tombs, but no Shakespeares.  Such being the case, it was natural enough that the utterances of Shakespeare's first critics, Rowe, Pope, and Theobald—and the so-called criticism of Rymer, Warburton, and others, who were supposed to be critics—found no echo, a century later, over here. Passing over another century, no outermost circle of the Ireland episode reached these shores, nor did the great work of Ireland's great contemporary, Malone—the first lawyer who took poor Shakespeare out of the clutches of the Poets and Poets Laureate—find in the United States any readers or sympathizers, much less disciples. The silence that follows discovery was noisy compared to the silence of America as to the greatest name in their inherited literature.
    But, just about fifty years after the Ireland forgeries, came the Collier frauds, and to the surprise of scholars, up from this side sprang, all at once, without preparation, the Malone for Mr. Collier's Ireland, the critic who was to smash their pretensions as Bentley had smashed the Letters of Philaris— basing, on pure internal evidence, conclusions of fact which every other character of evidence, circumstantial, physical, and material, was to confirm and establish beyond gainsay.
    When Mr. Collier produced his "Perkins Folio," and its "new reading's" agitated all Letters, a l'instant a lithe, clean limbed American warrior, stepped firmly into the field, and took that whole field for his province. And out of that war of pamphlets and pamphleteers, it was to Richard Grant White, the American, that the honor belonged of demonstrating, finally, that William Shakespeare and the Perkins "readings" were not contemporary. Armed cap-a-pie, with a perfect equipment at every point, nerved to a great effort, with a presumption against him as a combatant at all, from an unexpected quarter of the universe, Mr. White knew whereof he wrote. First of all, a grammarian and a comparative philologist, an attempt to deceive him by a piece of Victorian, palmed off as a piece of Elizabethan, English appeared to be about as hopeless an effort as would be an effort to satisfy a comparative anatomist like Huxley with a Barnum mermaid or a New Haven sea-serpent of lath and canvas. The records, easily extant, bear witness to the reception accorded to "Shakespeare's Scholar" (under which title Mr. White collected his magazine contributions upon "Perkins Folio" matters), and how speedily the name of the book transferred itself to its author. Its great merit, its absolute exhaustiveness, its minute accuracy, and its shrewd postulates of fact and of logic were immediately conceded. As a rule, mere windfall approbation of a book is of as little value as an estimate drawn from its preface, or its binding, or from personal acquaintance with its author, in divers and sundry suburban newspapers. But, in this case, the first approval of "Shakespeare's Scholar" became its deliberate valuation. And even when, finally, Sir Francis Madden, an expert in chirography, and Mr. N. E. S. A. Hamilton, a chemist, went to work with the Perkins Folio itself before them—the one with his microscope and the other with his acids—they found the marginalia of that notorious copy of the second Folio as of the exact dates to which Mr. White, without an inspection but from philological testimony alone, had referred them.
    The controversy is dead. If Mr. White's book is dead, too, it is because it closed the work it was written to perform. Time, the fulness of learning, discovery, and the constantly bettering consensus of scholars, (which new elements in solution and induction are constantly accruing), have verified every single one of Mr. White's prophesies, and established the worthlessness of every single one of the "readings" he rejected. This is the highest praise at any time. But at the threshold of the Shakespearian criticism of a continent, it is an achievement in the empire of literature. Since then American scholarship has made great strides. But, just as three centuries of English letters since Shakespeare has not brought English speech back to where he left it in himself, so American Shakespearian criticism has not, to date, done more—and it is difficult to see how it could do more—than Mr. White, at its very threshold accomplished.
    About Mr. White's only infirmity was a certain difficulty of temper, which is not altogether an unknown quantity in this Preserve. But, however often this infirmity was allowed to find its way into his first drafts and occasional contributions to his subject matter, it was rarely suffered to appear in their collected and revised forms.
    Mr. White's place as a Shakespearian commentator is secure. The value of his work is held to be of the highest. And it is exceedingly doubtful if an annotated edition of the great dramas has appeared since the first Grant White edition, or will hereafter appear, in which Mr. White's contributions, notes, or memoranda have not or will not have a representation.

William Byrd

We are often amazed today that men like Thomas Tallis and his student, William Byrd, whose lives spanned the religious ferment among the great Tudor rulers, could have developed such religious pragmatism when it came to their profession, writing music for the liturgy of the Church of England and the Catholic Mass.  In doing so, they were undoubtedly reflecting the religious ambiguity of their times, when too open a politically incorrect belief could be fatal, but when no public belief was equally unacceptable.  And then, after all, it was their professional business to provide music for religious ceremony, Protestant or Catholic.  It seems often the talent and inventiveness trumped nonconforming personal belief with creative artists.
If you look up William Byrd in an encyclopedia his birth date will often be succeeded by a question mark.  It is, indeed, indefinite.  It is just possible he was born as early as 1534, but more likely in 1543, depending upon whether the Wylliam Byrd who became a chorister in Westminster Abbey in 1543 is the composer, or simply another lost William Byrd.  His birth place is usually given as Lincoln, since he has strong Lincoln associations later in life, but if the Westminster chorister and Byrd are the same, London is a more likely birth place.  In any event, there is no doubt he died in 1623, aged at least 80.
It is a near certainty that Byrd sang in the Chapel Royal during the reign of Mary I under Thomas Tallis.  In his mid-twenties he is found as organist and choirmaster of Lincoln Cathedral.  He was named a gentleman of the Chapel Royal under Elizabeth, in 1572 and worked there as organist, singer and composer for many subsequent years.  He published a collection of motets with Tallis before Tallis' death, and composed Ye Sacred Muses as an elegy to the departed Tallis.
In spite of Byrd's employment writing for the Protestant Church of England under Elizabeth, he seems to have harbored strong personal Catholic sympathies, and wrote a good deal of music for the Mass in his later years, apparently celebrating Mass secretly with his co-religionists.  Even though Byrd composed and openly published Catholic music he was not molested by the state, though some of those in possession of his printed music certainly were.  He composed prolifically throughout his very long life, and after Orlando Gibbons, is often considered the greatest of Elizabethan-Jacobean composers.

Minggu, 10 Juli 2011

Immersed ?

Pembelajaran, proses, sebuah transformasi, pengorbanan, keikhlasan, pantangan, rintangan, kerja keras, dan berujung pada doa dan pasrah. Kehidupan rumit nan kompleks yang berakhir pada ketidakpastian. Di saat pembelajaran diberikan untuk setiap individu demi proses pendewasaan, keikhlasan selalu ada di dalam lubuk hati yang paling dalam, namun sayang perspektif serta paradigma-paradigma yang menghambat jalan hati nurani untuk memimpin ditutup dengan kejinya.

Guys, kita sering dengar adage atau proverb kuno bahwa jangan berpikir hanya kita sajalah punya masalah yang tidak punya solusi nya. Terlalu naïve untuk tenggelam di dalam kekelaman yang nyatanya kita punya cahaya untuk melawan kekelaman itu. Saya juga punya masalah. Kehidupan keluarga yang berada di bagian bawah roda saat ini. Impian yang tertunda karena finansial yang terhitung lemah. Dan masih banyak lagi. Tapi saya selalu mengingatkan diri saya agar eternally I've to have a logical sequence of thoughts. Saya tidak menyinggung siapa-siapa di sini. Kita hanya butuh pengorbanan sedikit lagi untuk kesekian kalinya. Berusaha untuk sabar, berusaha untuk ikhlas. Waktu selalu berjalan dan perlahan akan membantu kita untuk bisa ikhlas dan tulus serta bersyukur dengan apa yang terjadi terhadap kita. Jangan menganggap bahwa ini adalah hal mudah bagi saya. Tidak! Ketika kita menyuruh individu untuk bersabar dan ikhlas maka bersiaplah kesabaran dan keikhlasan kita untuk diuji. Yang berarti, saya pribadi akan merasakan pahitnya perjalanan dan akan merasakan indahnya bersabar dan ikhlas. Berkali-kali saya gagal. Berkali-kali pencapaian saya tidak mendapatkan apresiasi yang sewajarnya. Berkali-kali saya dikecewakan. Berkali-kali kesabaran saya diuji dan berkali-kali saya masih belum bisa memastikan keikhlasan yang saya jalani adalah sebuah keikhlasan. Tapi ingat, try to forgive yourself and keep on moving. I do, you do, and all of us do know it's kinda arduous to do. God's with us no matter what. Remember, Dia lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher mu. Kepedihan, kesedihan, tangis, dan harapan itu adalah bagian dari dinamika yang harus dihargai. Ikhlas itu sabar, sabar itu menerima, menerima itu selalu berusaha, di dalam usaha yang keras terdapat tekad dan tawakkal yang tak terkalahkan. Kita sering jatuh, tapi kita bangkit lagi. Namun kita jatuh lagi, tapi tak henti-hentinya kita untuk bangkit lagi. Dan untuk kesekian kalinya kita jatuh, dan di saat inilah kita sungguh-sungguh bangkit dan berjanji untuk selalu bangkit dan tidak terpuruk lagi. Selalu yakin pasti ada yang terbaik dari hasil pengorbanan dan usaha kita.

Goodies, pada hakikatnya kita tahu apa yang harus kita lakukan. Apa yang sudah saya katakan di atas adalah salah satu wujud perlawanan saya untuk melawan keegoisan kita untuk selalu menyerah. Banyak di luar sana yang telah mencapai beberapa target mereka dan ada pula yang belum mencapai pencapaian terbaiknya. Jangan sampai kita berjalan di atas situasi "putih" yang membingungkan kita sampai keadaan fatal yang mengakibatkan kita tak dapat melihat arah. Hanya sebuah ruangan putih kecil yang tak ada arah. Ironis! Saya berharap selalu ada keikhlasan di dalam usaha keras kita. Have a nice day people! :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 21 Juni 2011

Langkah Pak Harto Part II

Assalamu'alaikum..
Hey guys.. I want proceeding the story about Soeharto, though it's a wee bit only of it, but it will be nice. Trust me! Hehehe ;).. Let's move...

Well, I will proceed Soeharto's reign on April 1973. Check this out!

3 April 1973..

Hari ini Presiden Soeharto menerima Menteri Penerangan Mashuri SH di Istana Merdeka. Selesai menghadap Presiden, Menteri Penerangan mengatakan bahwa Presiden Soeharto telah merestuinya untuk mengadakan kerjasama dengan universitas-universitas guna merumuskan konsep dalam rangka pembangunan bidang penerbitan, terutama dalam rangka mempersiapkan diri dalam menghadapi Pelita II! *hmmm mengadakan kerjasama.. Let's think about it. There's an political intervention there #IMHO :p*

• Nah, usai menerima Menteri Penerangan, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Mohammad Sadli, Dr. JB Sumarlin, Dr. Emil Salim dan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono *lagi dan lagi saya minta koreksinya kalo ada yang salah sama nama dan info nya*. Pertemuan tersebut membahas dampak kenaikan harga minyak, terutama terhadap tarif angkutan darat, laut, dan udara.

Next...!!!

4 April 1973..

Sekitar pukul 09.00 dan 10.00 pagi ini, secara berturut-turut Presiden Soeharto menerima surat-surat kepercayaan dari Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Irak, Fadhil Salman Al-Assaf, dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Kerajaan Muangthai, Kasem S Kasemsri, di Istana Merdeka.
Kepada Duta Besar Irak, Presiden Soeharto menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap perjuangan yang adil dan benar dari bangsa-bangsa Arab, termasuk bangsa Arab Palestina (kalo gak salah), dalam mempertahankan haknya. Dukungan yang diberikan bangsa Indonesia ini didasarkan pada rasa ssaling menghormati kedaulatan penuh dan memahami kemerdekaan masing-masing bangsa, di samping karena Indonesia benar-benar memahami apa arti kemerdekaan bagi suatu bangsa! *ya mungkin iya bener Indonesia memahami benar-benar arti kemerdekaan suatu bangsa DULUnya. Now?! I've no idea. It's arduous to be pessimist towards gov.* #justsaying ;))
Okay, hmm.. Kalau tidak salah, dalam pidatonya, Duta Besar Al-Assaf menyampaikan penghargaan Pemerintah dan rakyat Irak atas sikap Pemerintah dan rakyat Indonesia yang terpuji dan tulus dalam membantu perjuangan bangsa Arab Palestina. *woohoww!! Standing ovation!! Prok prok prok!! Great Indonesia hehe*
Sementara itu, kepada Duta Besar Muangthai yang baru, Presiden Soeharto mengungkapkan penilaiannya terhadap ASEAN sebagai suatu lembaga yang sangat penting artinya, bukan hanya karena hasil-hasil lahiriah yang telah dicapainya, melainkan juga karena jiwa dan semangatnya. Dikatakan oleh Presiden bahwa ASEAN dapat membangun proyek-proyek bersama. Menurutnya, proyek-proyek bersama itu selain memberikan manfaat bagi kesejahteraan anggota-anggota ASEAN, dapat pula membantu menciptakan ketahanan nasional masing-masing negara, menuju kepada ketahanan regional Asia Tenggara.
Dalam pidato penyerahan surat kepercayaannya (wow! Apparently many speeches had delivered there), Duta Besar Kasem Kasemsri mengatakan bahwa kedua bangsa sudah sejak lama menikmati ikatan persahabatan, sehingga tidak ada alasan bagi keduanya untuk tidak memiliki pandangan yang sama, perasaan yang agung dan cita-cita yang luhur yang dapat diabdikan bagi kepentingan perdamaian, kebebasan dan persahabatan bangsa-bangsa, terutama di kawasan Asia Tenggara ini.
• Pagi menjelang siang di Istana Negara Presiden Soeharto melantik Prof. Dr. Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan (bandingkan sama SMI a.k.a Sri Mulyani), Jenderal Soemitro menjadi Panglima Kopkamtib/Wakil Panglima Angkatan Bersenjata, Mayjen. Ali Said menjadi Jaksa Agung, dan Drs. Rachmat Saleh menjadi Gubernur Bank Indonesia. Dalam pidato sambutannya, Presiden antara lain mengatakan bahwa di dalam melaksanakan konstruksi yang segi-seginya semakin rumit itu diperlukan laporan yang mengandung kebenaran, bukan penilaian yang hanya bertujuan untuk menyenangkan atasan saja!
Presiden mengakui bahwa meskipun perkembangan di bidang ekonomi dan politik dalam masa kerja Kabinet Pembangunan I menunjukkan garis naik, akan tetapi tidak semua sempurna (nothing's perfect, Mr. President!). Oleh sebab itu ia secara khusus meminta kepada para menteri dan pejabat tinggi negara untuk menyusun program-program kerja yang lebih tepat dan di-KIS-kan dalam rangka kesatuan bulat kebijaksanaan dan langkah tunggal Pemerintah.

Lanjuuuut..!!

7 April 1973..

Pada hari ini, sejumlah 55 orang pengusaha Amerika Serikat mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Maksud kunjungan mereka adalah dalam rangka mendapatkan informasi langsung mengenai aspek-aspek penanaman modal di Indonesia. Kepada para usahawan Amerika ini Presiden Soeharto menegaskan sikapnya yang membuka kesempatan bagi investor asing untuk menanamkan modal mereka di sini, dengan bertujuan untuk memperlancar proses pembangunan kita (kinda great though). Dalam uraiannya, Presiden juga menguraikan secara panjang lebar mengenai Repelita II yang memerlukan dana yang besar terutama dalam bidang industri pengolahan. Adapun bidang-bidang yang masih terbuka untuk penanaman modal dari luar negeri adalah pertambangan, perhubungan, pengusahaan kayu hutan berikut industri pengolahannya.
• Sebelumnya, di tempat yang sama, Presiden Soeharto menerima kunjungan kehormatan Menteri Pertahanan Australia, Lance Bernard, beserta rombongan. Lance Bernard berada di Indonesia antara lain dalam rangka penyerahan 16 buah pesawat tempur Sabre bantuan Pemerintah Australia kepada AURI.

4 hari kemudian..

11 April 1973..

Dalam sidang paripurna Kabinet Pembangunan II yang berlangsung pagi ini di Bina Graha, Presiden memberikan petunjuk kepada semua menteri untuk menyusun kebijaksanaan dan rencana kerja. Dengan demikian akan dapat dicapai koordinasi, integarsi, dan sinkronisasi (KIS) dalam tugas setiap departemen dan non-departemen.
Sidang paripurna yang pertama ini telah memutuskan untuk mengalokasikan 65% kredit investasi kepada golongan ekonomi lemah, sedangkan sisanya diberikan kepada golongan ekonomi kuat. Untuk menjamin kelancaran kegiatan ekonomi dan pembangunan, kabinet juga memutuskan untuk menurunkan suku bunga kredit, deposito dan Tabanas yang akan berlaku mulai besok (tanggal 12 April).

14 April 1973..

Dua hari setelah sidang paripurna, Brigjen. Bustanil Arifin, Deputi Kepala Bulog, siang ini menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha. Dalam pertemuan selama lebih kurang setengah jam itu Presiden telah membahas dan memberikan petunjuk kepada Bulog menyangkut persiapan-persiapan pengadaan beras di dalam negeri melalui pembelian-pembelian kepada para petani. Pembelian ini diperlukan mengingat mulai tibanya musim panen.

16 April 1973..

Presiden Soeharto, selaku Bapak Pramuka Tertinggi, bertempat di Cibubur, Jakarta Timur, pagi ini membuka Jambore Nasional 1973. Upacara pembukaan jambore ini ditandai oleh sebuah acara menarik, yaitu "Dialog Transmigrasi", yang dibawakan oleh dua orang Pramuka Pembina secara bersahut-sahutan, dan dilanjutkan dengan nyanyian "Padi Ditumbuk Menjadi Beras". (What a day! :D)

• Malamnya, Presiden Soeharto menghadiri acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di Istana Merdeka. Dalam sambutannya Pak Harto mengatakan bahwa rasa keadilan memanggil kita untuk menghapuskan penindasan yang kuat terhadap lemah. Rasa keadilan dan persaudaraan yang menjadi tiang utama ajaran agama mewajibkan kita membangun masyarakat yang dapat mencegah timbulnya jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Menurut Presiden, para nabi sebelumnya telah merintis pembangunan masyarakat yang meliputi pembangunan materil dan spirituil dengan agama-agama yang diturunkan Tuhan. "Karena itu", demikian ditegaskan oleh Presiden, "membangun masyarakat jelas merupakan tugas agama".

Lima hari setelahnya...

Masalah transportasi telah dibahas secara menyeluruh oleh Presiden Soeharto dengan beberapa menteri serta Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dalam suatu pertemuan yang berlangsung di kediaman Presiden di Jalan Cendana mulai pukul 09.00 pagi ini. Para menteri yang menghadiri pertemuan ini adalah Menteri Perhubungan Emil Salim, Menteri Penertiban Aparatur Negara JB Sumarlin, Menteri Pertambangan Sadli, dan Menteri Keuangan Ali Wardhana.

23 April 1973..

Presiden Soeharto menganjurkan agar negara-negara anggota ASEAN dapat mengembangkan "masyarakat kertas koran ASEAN" sehingga kebutuhan kertas koran bagi ASEAN dapat dipenuhi oleh negara-negara ASEAN sendiri. Untuk maksud ini Indonesia setidak-tidaknya harus dapat menghasilkan kertas koran sejumlah 60.000 sampai 70.000 ton setahun. Menteri Penerangan Mashuri mengatakan hal ini setelah ia menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka pagi ini.

24 April 1973..

Pagi ini Presiden Soeharto memimpin sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional yang berlangsung di Bina Graha. Sidang memutuskan untuk menaikkan semua tarif penumpang angkutan udara sebesar 10% dan mulai berlaku besok. Menurut Menteri Perhubungan Emil Salim, penyesuaian tarif angkutan udara ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan angkutan udara, keselamatan penerbangan dan pemeliharaannya. Langkah kebijaksanaan ini juga diambil karena pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter internasional, selain akibat kenaikan biaya eksploitasi dan perlunya dana investasi armada penerbangan.

Well.. Next..!!!

25 April 1973..

Presiden Soeharto menyambut baik doktrin FBSI yang berdasarkan pada Pancasila; selain itu Kepala Negara juga sangat menghargai usaha-usaha FBSI yang telah berhasil menyatukan semua organisasi buruh Indonesia ke dalam suatu federasi. Demikian diungkapkan oleh Menteri Tenaga Kerja, Trasmigrasi dan Koperasi, Subroto, kepada pers setelah ia dan 11 orang pimpinan FBSI diterima Presiden Soeharto di Bina Graha pagi ini.

26 April 1973..

Diantar oleh Menteri Pertambangan Prof. Sadli, Menteri Pertambangan Birma, Komodor Thaun Tin, mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Menurut Prof. Sadli, Menteri Pertambangan Birma ingin mempelajari pengalaman Indonesia dalam hal pertambangan, khususnya pertambangan minyak. Ditambahkannya bahwa pejabat tinggi Birma itu sangat terkesan akan sistem production sharing (bagi hasil) yang dipraktekkan Indonesia.
• Pagi ini pula, di tempat yang sama, Kepala Negara menerima kunjungan delegasi Parlemen Yugoslavia yang dipimpin oleh Ketua Parlemennya. Dalam pertemuan tersebut, selain menawarkan kesediaan negaranya untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang pembangunan, Ketua Parlemen negara sahabat ini juga telah mengulangi undangan negaranya kepada Presiden Soeharto untuk mengunjungi Yugoslavia.

27 April 1973..

Bertempat di Istana Merdeka, Presiden Soeharto pagi ini menerima kunjungan kehormatan Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Republik Federasi Jerman, Walter Scheel, di Istana Merdeka. Pada kesempatan ini, pemimpin Jerman Barat itu telah menghadiahkan sebuah traktor mini kepada Presiden Soeharto, sementara Kepala Negara menyerahkan sebuah bingkisan cerutu kepadanya.
• Pagi ini pula Presiden Soeharto menerima utusan khusus Presiden Park Chung Hee dari Korea Selatan. Kepada Presiden Soeharto, utusan khusus Kyu Hak Choi menjelaskan tentang perkembangan terakhir perundingan yang dilakukan negaranya dengan pihak Korea Utara dalam rangka usaha penyatuan kedua Korea.

And the last day on this April..
30 April 1973..

Presiden Soeharto hari ini meresmikan bendungan dan PLTA Riam Kanan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam pidato sambutannya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam pembangunan di daerah-daerah selama ini mencerminkan keterbatasan kemampuan kita. Keterbatasan kemampuan itu mengharuskan kita untuk menentukan prioritas pembangunan secara tepat. Demikian dikatakan Presiden Soeharto. Presiden dan rombongan tiba di Banjarmasin pagi ini, dan segera kembali ke Jakarta selepas acara peresmian.

Done! So far, kekakuan dan kekurangan tentang Soeharto tidak terlampirkan di sini. Saya mohon koreksinya dan mungkin juga kalau anda-anda sekalian punya info yang lebih tentang ini, yuk silahkan :-).
Powered by Telkomsel BlackBerry®